Seni adalah kekacauan
dan keteraturan
Subarman Salim
Suatu waktu
di tahun 1949, Theodor Adorno berujar, “menulis puisi setelah Auschwitz
adalah perbuatan barbar.” Adorno adalah seorang filsuf juga dikenal sebagai
komposer berkebangsaan Jerman, namun dari ayahnya, ia juga mewarisi tradisi
Yahudi. Auschwitz adalah kamp konsentrasi yang dibangun tentara Jerman di
Polandia. Di sana, Nazi melakukan kekejaman paling mengerikan dan menjadi aksi
genosida paling brutal dalam sejarah manusia.
Adorno mungkin khawatir, seni kiwari,
banyak disalahgunakan untuk kepentingan kesenangan semata, atau atas tuntutan
gairah konsumerisme. Budaya pop telah menyeret seni ke kubangan barbarisme
industri kesenangan dan uang. Padahal, hakikat seni adalah upaya pencarian jiwa
sejati manusiawi.
Mungkin karena hidup sezaman dengan Adolf Hitler,
Adorno bisa tumbuh menjadi filsuf yang kritis sekaligus musisi yang kreatif.
Dan itu mempengaruhinya dalam memberi penilaian terhadap seni yang mengabdi
pada pasar, yang menurutnya sekadar penghibur masyarakat, tanpa kedalaman.
Seharusnya seni adalah antithesis
masyarakat, kata Adorno. Dengan begitu seniman seharusnya tak bisa dikekang
oleh aturan. Seperti Albert Camus yang menempatkan seni sebagai pemberontak, yang
mengangungkan sekaligus mengingkari. Ironi. Sebagaimana yang ditulis dalam
sebait puisi Putra, "Walaupun tidak menyukai aturan, bukan berarti
menyukai kekacauan."
Atau, mungkin semua adalah tentang
orientasi, kepada apa atau siapa ia mengabdi. Karena, faktanya, banyak seniman
menggunakan karyanya untuk mencari kekuasaan dan prestasi politik, kata Leon
Trotsky.
Dan seniman yang manusia, nyatanya tak bisa
mengelak nasib, mereka tak mampu keluar dari masyarakat, sekuat apapun yang
mereka mampu. Dan meski Chairil Anwar telah mewanti-wanti bahwa “nasib adalah
kesunyian masing-masing,” tapi Risna menolak kesunyian. Yang ia harapkan adalah
pendamping bukan hanya untuk “menemani di keramaian,” tapi juga “bersama pada
saat sepi.”
Kita bisa berdebat tentang selera terhadap
seni, sambil berusaha tetap memahami bagaimana seni bisa bebas dari determinasi
budaya dan berbagai bentuk komodifikasi, terdengar ilusif di era metadata.
Sayangnya, Adorno tidak hidup di era digital, dan karenanya tidak sempat
menyaksikan bagaimana pasukan Artificial intelligence (AI) bisa menggambar,
membuat puisi, menulis esai, main catur, bahkan mengaransemen musik.
Apakah seni yang diciptakan AI adalah
perbuatan barbar? Di perguruan tinggi, berapa banyak mahasiswa yang mulai
mengambil keuntungan pada mesin pencari google untuk kebutuhan penyelesaian skripsi?
Apa pun yang bisa dilakukan AI -setidaknya
hingga hari ini-, tetap butuh asupan data dari banyak manusia. AI menghadirkan
karya seni sesuai hasil olah data dari ragam aktivitas dan kecenderungan
masyarakat. Artinya, no data, no AI. Lagi-lagi, Adorno akan menyampaikan
protes: tidak ada kedalaman dari seni yang diciptakan oleh AI…!
Seni yang barbar yang ditentang Adorno,
bisa jadi lahir dari trauma melihat para seniman, ilmuan dan para akademisi
dibantai pasukan Nazi. Mereka memang gagal menghentikan kebrutalan Hitler, tapi
mereka berhasil membawa pesan kepada dunia, bahwa seni dan pemberontakan adalah
dua hal yang memang tak terpisah.
Tak ada status quo dalam seni
sebagaimana pemberontakan yang kadang harus menolak pikiran dan menentang
perasaan sendiri. Dalam seni, kekacauan, kegamangan, kebingungan dan
paradoks-paradoks adalah prakondisi yang dibutuhkan. Atau “jika sesuatu terlalu
indah untuk menjadi nyata, mungkin memang begitu,” kata Sidney Sheldon.
Di dunia nyata, Risna di Pattiro Sompe, gagal
mempertahankan pernikahannya di usianya yang masih remaja. Dan, kekacauan
akibat perceraian, mendorongnya untuk mendalami perasaan sendiri, memantiknya
untuk menemukan konsep pemikiran sendiri, tentang dunia, tentang janji lelaki,
dan tentang stigma janda.
Dari Auschwitz bersama Adorno di awal abad
ke-20 kita ke Cappa Ujung Bone di awal abad ke-21 bersama siswa PKBM Sulolipu
yang ditugaskan membuat puisi. Tentu saja, misi kali ini bukan untuk mengecek
apakah puisi mereka barbar atau pemberontak atau hanya ekspresi narsis yang
nyaris dibekap neurosis. Gairah belajar adalah yang utama.
Kehadiran buku ini, dengan pemilihan judul
Pensil Patah, tentu belum bisa menggambarkan hasil belajar. Tapi, keinginan
menyelami pikiran, memilah perasaan, lalu menyusunnya menjadi puisi adalah
pisau-pisau yang mereka butuhkan untuk kembali meraut pensil yang terlanjur
patah.
Akirnya, selamat
kepada para penulis yang pembelajar. Juga kepada PKBM Sulolipu yang berhasil
menemukan para mentor andal. Belajar bersama ini sungguh menyenangkan. Itu bisa
mengobati kerinduan mereka pada sekolah. Itu bisa dipahami dari bait-bait sajak
yang disusun oleh Selfiana dari Cappa Ujung, “Sepanjang rimba pikiran, ingatan
adalah hewan buas, Aku kerap lumpuh, dicakar-cakar rindu.”
0 komentar:
Posting Komentar