Judul:
Lelaki & Lampu Strongking
Penulis:
Muhammad Adil Tambono
Editor: Damar I Manakku
Desain Sampul & Tata Letak: Damar I Manakku & Muhammad Rusli
Penerbit: Pakalawaki Penerbitan dan Percetakan
Cet. I, September 2024
viii + 130 hlm ; 13 x 19 cm
Kumpulan
cerita pendek karya Muhammad Adil Tambono yang ada di tangan Anda ini
menawarkan sebuah rangkaian peristiwa sastra yang tidak sekadar menguntai
cerita dan konflik batin para tokohnya. Pembaca juga dapat menggali makna di
dalamnya dari budaya dan kehidupan masyarakat Mandar dan umumnya yang tinggal di
Sulawesi Barat. Adil Tambono berhasil menghadirkan nuansa lokal yang kaya, tetapi
tetap memiliki resonansi universal yang mampu menjangkau pembaca di luar
batas-batas budaya tersebut.
Tema-tema
yang diangkat oleh Adil dalam cerpen-cerpennya berkisar pada konflik-konflik
batin manusia yang kerap bertaut dengan nilai-nilai budaya yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat Mandar. Sebagai contoh, dalam cerita "Tanete
Tambalisa," ada penekanan pada pentingnya nilai-nilai warisan leluhur dan
bagaimana pasang (nasihat-nasihat leluhur) masih menjadi pijakan bagi
generasi penerus di tengah modernitas saat ini. Kisah ini tidak hanya bicara
tentang mistisisme dan kebijaksanaan tradisional, tetapi juga tentang cara-cara
manusia modern mencoba mempertahankan identitas mereka dalam arus zaman yang
berubah. Cerita lainnya, seperti "Apa Kata Istriku" dan "Menantu
Mertua dan Kekuasaan," menggambarkan benturan antara tradisi dan
modernitas. Entitas individu harus berjuang antara mempertahankan nilai-nilai
lama dengan kebutuhan untuk beradaptasi dengan dunia baru. Kedua cerpen ini,
meski berlatar masyarakat Mandar, menggambarkan situasi yang sangat umum
ditemui di masyarakat lain: konflik antara idealisme pribadi dan tekanan sosial
serta bagaimana kekuasaan sering kali menjadi puncak dari perpecahan nilai
dalam keluarga.
Gaya
bahasa Adil Tambono dalam cerpen-cerpennya ini memang terkesan sederhana.
Kesederhanaan itu diperkuat dengan simbolisme budaya yang kuat. Ia sering
menggunakan metafora yang terinspirasi dari alam dan kehidupan sehari-hari
masyarakat Mandar yang menjadikan ceritanya tidak hanya sebagai sebuah kisah,
tetapi juga sebagai representasi dari kehidupan itu sendiri. Dialog-dialog
dalam cerpen-cerpennya sarat dengan ungkapan-ungkapan berbahasa daerah yang
menunjukkan kearifan lokal, seperti penggunaan istilah pasandreanging
(ilmu pemikat hati) dalam cerpen "Tanete Tambalisa" yang menunjukkan
bagaimana pengetahuan tradisional masih berperan penting dalam kehidupan
emosional dan sosial masyarakat. Ungkapan Siri' anna lokko (malu dan
kehormatan) adalah konsep penting dalam budaya Mandar (dan juga di Bugis-Makassar)
yang merujuk pada nilai-nilai malu dan kehormatan. Ungkapan ini bukan hanya
tentang rasa malu dalam konteks sosial, tetapi juga tentang harga diri dan
martabat yang harus dipertahankan oleh individu. Dalam cerpen "Tanete
Tambalisa", nilai tersebut sangat penting dalam membentuk perilaku dan
keputusan karakter, terutama ketika berhadapan dengan konflik batin antara
tradisi dan modernitas.
Di
dalam cerpen "Dia yang Pergi" juga terdapat ungkapan elong salili
anna memonge-monge (tembang rindu yang menyayat) yang merujuk pada tradisi
lisan dan seni sastra yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan mendalam,
terutama tentang cinta dan kerinduan. Elong adalah tembang atau
nyanyian, sementara salili anna memonge-monge menggambarkan suasana hati
yang melankolis dan menyentuh. Dalam cerpen "Dia yang Pergi"
tersebut, ungkapan ini digunakan untuk menekankan perasaan kehilangan dan
kerinduan yang dialami oleh karakter utama setelah perpisahan dengan
kekasihnya. Ungkapan ini memperlihatkan bagaimana tradisi lisan tetap hidup dan
relevan dalam menggambarkan emosi manusia yang kompleks.
Adil
juga cenderung menyisipkan bahasa daerah, seperti dalam "Lelaki dan Lampu
Strongking" dan "Kutu Busuk," yang menambah otentisitas narasi
dan memperkuat latar budaya tempat cerita tersebut dibangun. Bagi pembaca di
luar budaya Mandar, kosakata bahasa daerah itu memberikan pintu masuk yang
menarik ke dalam dunia yang mungkin asing, tetapi penuh nuansa dan warna. Cerpen
ini mengandung istilah-istilah lokal yang memperkaya narasi, seperti timorang"
dan to moppo’. Istilah timorang digunakan untuk merujuk pada
seseorang yang dianggap "gila" atau aneh dalam masyarakat, sedangkan to
moppo’ berarti seseorang yang muncul tiba-tiba. Penggunaan istilah ini
tidak hanya menambah otentisitas budaya tetapi juga menambah lapisan makna yang
hanya bisa dipahami dengan benar dalam konteks budaya Mandar. Misalnya,
karakter lelaki tua yang membawa lampu strongking disebut sebagai timorang
oleh masyarakat sekitar. Bagi pembaca yang bukan berlatar Mandar, istilah ini
mungkin terdengar asing, tetapi Adil menggunakannya untuk menggambarkan
pandangan masyarakat terhadap seseorang yang dianggap berbeda atau tidak
mengikuti norma umum. Kosakata-kosakata tersebut mengajak pembaca untuk
merenungkan bagaimana masyarakat mengidentifikasi dan memperlakukan orang-orang
yang berbeda, yakni memberikan wawasan tentang cara pandang budaya Mandar
terhadap "kegilaan" atau ketidaknormalan.
Dalam
cerpen "Kutu Busuk," Adil menggunakan istilah seperti Puang
untuk merujuk pada seseorang yang dihormati atau memiliki status tinggi. Istilah
ini adalah bentuk penghormatan yang umum dalam budaya Bugis-Makassar, yang juga
digunakan di beberapa bagian Mandar. Penggunaan istilah ini mengakar dalam
tradisi budaya lokal yang sangat menghormati hierarki sosial dan status. Misalnya,
dialog antara karakter perempuan dan laki-laki yang memakai "Puang"
menunjukkan dinamika kekuasaan dan hierarki dalam interaksi mereka. Penggunaan
bahasa ini tidak hanya memberikan rasa otentisitas tetapi juga menyoroti
perbedaan status dan kekuasaan dalam cerita. Bagi pembaca di luar budaya ini,
istilah seperti Puang menawarkan pandangan ke dalam struktur sosial yang
mungkin berbeda dari yang mereka kenal serta memperdalam pemahaman tentang
bagaimana kekuasaan dan status berfungsi dalam konteks budaya Mandar.
Memang,
karakter-karakter dalam cerpen Adil Tambono sering kali mencerminkan
nilai-nilai budaya yang dipegang oleh masyarakat Mandar. Mungkin itu simbol,
setidaknya mereka adalah cerminan dari sosok-sosok yang berusaha menemukan
keseimbangan antara tradisi dan modernitas—antara individualitas dan
komunalitas. Misalnya, Sallaeng dalam cerpen "Tanete Tambalisa" adalah
karakter utama yang hidup di antara dua dunia: dunia tradisional yang diwarisi
dari leluhurnya dan dunia modern yang ia hadapi sehari-hari. Sallaeng
dibesarkan dengan nilai-nilai dan pengetahuan mistis seperti pasandreanging
‘ilmu pemikat hati’ yang diturunkan dari kakeknya. Meskipun hidup di era
milenial yang serba rasional dan modern, Sallaeng tetap memegang teguh
ajaran-ajaran leluhurnya. Konflik yang dialami Sallaeng dianggap sebagai
representasi dari banyak masyarakat tradisional yang terjebak antara
mempertahankan warisan budaya mereka dan menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman. Sallaeng tetap teguh pada prinsip leluhur, meskipun masyarakat di
sekitarnya sudah mulai meninggalkan mistisisme untuk berpindah ke rasionalitas
modern. Konflik semacam ini mencerminkan dilema yang umum dihadapi oleh banyak anggota
komunitas yang mencoba berdamai dengan identitas budaya mereka dalam dunia yang
terus berubah.
Karya-karya
Adil tidak hanya berbicara kepada mereka yang memahami konteks budaya Mandar,
tetapi juga kepada pembaca yang lebih luas yang mungkin sedang mencari
pemahaman lebih dalam tentang bagaimana budaya mempengaruhi kehidupan
sehari-hari, cara berpikir, dan keputusan yang diambil oleh individu. Misalnya,
dalam cerpen "Apa Kata Istriku", Adil menggambarkan tokoh utama,
seorang guru honorer berambut gondrong—yang mungkin diri penulisnya sendiri—yang
dihadapkan pada dilema ketika dia diangkat menjadi ketua program studi seni
budaya dengan syarat harus memotong rambutnya. Konflik ini mencerminkan
bagaimana individu harus menegosiasikan identitas pribadinya dalam konteks
sosial dan profesional yang lebih luas. Pembaca dari budaya mana pun dapat
mengenali ketegangan ini—antara mempertahankan prinsip dan menyesuaikan diri
dengan norma sosial. Rambut gondrong, dalam cerita ini, bukan hanya simbol
pemberontakan atau kebebasan pribadi, tetapi juga lambang dari identitas dan
prinsip yang mungkin tidak sepenuhnya dipahami oleh masyarakat sekitarnya.
Dalam konteks ketegangan budaya, konflik semacam ini bisa dilihat sebagai
representasi dari bagaimana budaya mempengaruhi keputusan individu dalam
menghadapi tekanan sosial.
Melalui
gaya bahasa yang kuat dan tema yang mendalam, Muhammad Adil Tambono tidak hanya
“menulis cerita”, tetapi juga menciptakan sebuah cermin budaya yang
memungkinkan pembaca melihat refleksi dari kehidupan mereka sendiri dalam
narasi yang berbeda. Kumpulan cerita pendek ini adalah sebuah “undangan” untuk
merenungi nilai-nilai budaya yang mungkin perlahan memudar, tetapi kehadirannya
tetap relevan dalam memahami dinamika manusia di zaman modern ini.
Sebagai
pembaca yang mungkin berasal dari luar Sulawesi Barat atau bahkan dari luar
Indonesia, kumpulan cerpen ini menawarkan lebih dari sekedar hiburan: ia
memberikan wawasan tentang kehidupan, nilai, dan identitas yang tertanam dalam
masyarakat Mandar, yang pada akhirnya menambah kekayaan literatur Nusantara.
*Ganjar
Hwia. Kepala
Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan (2023—2024). Pernah menjadi peneliti
madya di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) serta
Sekretaris dan pakar di Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera). Menulis puisi
dan naskah teater.
0 komentar:
Posting Komentar