Judul:
Asu Panting
Hantu Legenda Gunung Bawakaraeng
Penulis:
Hilman
Editor:
Damar I Manakku
Desain Sampul & Tata Letak:
Ramadhan S
Penerbit: Pakalawaki Penerbitan dan Percetakan
Cet. I, Septeber 2025
viii + 229 hlm ; 14 x 20 cm
====================================
KATA PENGANTAR
Mitos selalu hadir
sebagai cermin kegelisahan manusia. Ia lahir dari perjumpaan antara rasa takut,
imajinasi, dan pengalaman kolektif yang diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Asu Panting, misalnya, sebuah cerita yang
akhir-akhir viral di media sosial sebetulnya bukan sekadar kisah tentang
makhluk gaib, melainkan penanda bagaimana masyarakat Bugis-Makassar membingkai
relasi mereka dengan alam, dengan kegelapan, dan dengan dunia yang tak kasat
mata.
Sebagai penulis
yang selama ini juga menaruh perhatian pada tradisi lisan, narasi rakyat, dan
sejarah lokal, saya memandang buku ini penting bukan karena ia sekadar
‘membuktikan’ ada atau tidaknya asu panting, tetapi karena ia berani
mengangkat kembali sebuah kisah yang sering hanya beredar di ruang bisik-bisik,
cerita dapur, atau percakapan malam hari di kampung. Melalui penelitian
panjang, penulis berusaha menyingkap makna di balik cerita, lalu menawarkannya
kembali kepada kita dengan sudut pandang yang lebih rasional.
Di sinilah buku
ini memiliki nilai: ia menempatkan mitos bukan hanya sebagai bahan
takut-takutan, melainkan sebagai teks budaya yang bisa dibaca ulang. Ada upaya
untuk mengaitkan kisah Asu Panting dengan gejala sosial, pengalaman spiritual,
bahkan interpretasi medis. Semua itu memperlihatkan bahwa mitos hidup di
persimpangan antara keyakinan, pengetahuan, dan penafsiran.
Saya percaya bahwa
membaca asu panting bukan hanya mengajak kita mengenal satu makhluk
mitologis dari Sulawesi Selatan, tetapi juga menantang kita untuk merenungkan
bagaimana ketakutan, kepercayaan, dan cerita bisa membentuk cara kita memandang
dunia. Buku ini adalah undangan untuk berdialog: antara iman dan nalar, antara
warisan budaya dan ilmu pengetahuan, antara yang gaib dan yang nyata.
Akhir kata, saya
memberi apresiasi setinggi-tingginya kepada penulis (biasa kami panggil Pak
Desa) yang telah merangkum kisah panjang dan penuh kontroversi ini menjadi
sebuah buku. Semoga karya ini tidak berhenti sebagai arsip tentang mitos,
melainkan juga menjadi ruang diskusi baru untuk memahami bagaimana budaya kita
merawat dan sekaligus mengkritisi cerita-cerita lama.
Makassar, 2025
Komentar
Posting Komentar