Judul:
SEPENGGAL KISAH DARI RUANG BELAJAR
Penulis:
FIONA AMELIA ASMI, ALIYAH ANANDA IDWAR, PRITI SINTA, MARWAH
Editor:
Damar I Manakku
Desain Sampul & Tata Letak: Damar I Manakku
Penerbit: Pakalawaki Penerbitan dan Percetakan
Cet. I, November 2024
viii + 120 hlm ; 14 x 21 cm
====================================
TERLALU SINGKAT
Oleh:
Fiona Amelia Asmi
Hari
sudah sore. Sinar matahari yang sudah berwarna oranye serta udara yang sejuk
menemani Miranda dalam perjalan pulangnya sehabis belanja. Sesampainya dirumah,
ia memarkirkan motornya di halaman rumah dan perlahan berjalan ke arah pintu
depan, sambil mengeluarkan kunci rumah yang disimpan di saku celana. Terlihat
ada gantungan kunci yang ikut bergelantungan di antara semua kunci-kunci yang
ada. Di gantungan kunci itu pula, terlihat foto seorang gadis kecil yang
tersenyum manis ke arah kamera.
Dia
menatap foto itu sebentar lalu membuka pintu, dan mengucapkan salam sambil
memasuki ruang tamu.
“Assalamu’alaikum..” ucapnya
pelan.
“Wa’alaikumsalam!”
Jawab seseorang dengan nada
bersemangat. Miranda mendengar langkah kaki kecil yang berjalan cepat ke
arahnya. Tak lama kemudian, sesosok gadis kecil pun tiba di hadapannya. Ia
tersenyum lebar melihat Miranda. Dia adalah Almira, Putri Miranda yang juga
merupakan gadis yang sama di gantungan kunci tadi.
“Wah, mama sudah pulang!”
Sorak Almira kegirangan. Miranda tertawa kecil melihat kelakuan putrinya lalu
masuk ke dapur untuk menyimpan bahan bahan yang sudah ia beli.
Almira
pun mengikuti ibunya seraya melirik lirik kantong yang ia letakkan di atas
meja. “Mira udah nungguin mama daritadi, lho! Kok mama lama banget sih? Terus
mama beli apa aja? Mama beli cemilan juga nggak?” Almira melontarkan beberapa
pertanyaan tanpa jeda yang membuat Miranda merasa gemas.
“Hahaha, satu satu dong
sayang.Tadi jalannya macet, makanya mama pulangnya lama.” Jawab Miranda sambil
mengeluarkan barang belanjaannya dari kantong plastik. Ia membeli Gula,
Mentega, dan banyak bahan-bahan lainnya untuk toko kue nya. Sejak suaminya
meninggal 5 tahun yang lalu, Miranda menghidupi dirinya dan putrinya seorang
diri dengan melanjutkan bisnis toko kue warisan dari ibu nya. Ia juga berniat
mewariskannya ke Almira ketika sudah besar nanti. “Mama tadi beli bahan-bahan
kue untuk toko.”
“Ooooh”
Balas Almira singkat. Dia melihat barang-barang belanjaan yang ada di
hadapannya seolah-olah mencari sesuatu.
Miranda
tersenyum kecil, dan mengeluarkan beberapa barang lain dari kantong. “Mama beli
cemilan, kok. Ini buat Mira!” Dia pun menyodorkan beberapa bungkus biskuit
dengan isian krim stroberi kepada Almira yang sudah terlihat tidak sabar untuk
menyantap cemilannya.
Saat
Almira sudah memegang bungkusnya Miranda pun melepaskan genggaman nya. Namun,
tepat saat ia mengalihkan pandangan Miranda justru dikejutkan dengan suara
bungkus cemilan yang jatuh ke lantai. Ia refleks menoleh kearah bungkus camilan
yang tergeletak begitu saja. Tentu saja, Miranda merasa heran. Ia melihat
dengan jelas kalau tadi putrinya itu sudah memegang bungkus cemilan kesukaannya
dengan erat. ‘Kenapa dia menjatuhkannya?’
Batinnya.
Dia
baru saja ingin menanyakannya, tapi ketika ia melihat ke arah tempat Almira
tadi duduk, dia membeku di tempat. Tiba-tiba dadanya terasa sesak dan sekujur
tubuhnya gemetaran saat dia menyadari kalau tidak ada orang di sana, dan dia
hanya berbicara sendiri sejak tadi.
Sudah beberapa menit, dan
Miranda masih saja membeku di tempat, seakan masih belum bisa menerima
kenyataan bahwa ia memang berbicara seorang diri saja. Setetes air mata
perlahan menetes ke pipinya, dan tanpa ia sadari, air matanya sudah mengalir
deras. Hatinya hancur berkeping-keping saat dia kembali teringat kenyataan
pahit bahwa Almira, putri satu satunya sudah meninggal dunia 4 Bulan yang lalu.
Ingatan
menyakitkan akan hari itu kembali terulang kembali di kepalanya.
Miranda
benar benar gelisah. Wali Kelas Almira, Bu Laura baru saja mengabarinya bahwa
Almira tertabrak truk yang ugal-ugalan. Alangkah terkejutnya ia setelah
mendengar kabar mengerikan itu. Tanpa membuang waktu Miranda meninggalkan
adonan kue yang sedang ia kocok dan segera berlari ke arah Sekolah Almira.
Ketika sekolah Almira sudah terlihat, Miranda semakin mempercepat langkahnya.
Nafasnya sudah terengah-engah dan dada nya mulai terasa sesak, tapi ia tidak
peduli. Namun semua gerakannya terhenti ketika ia melihat putrinya tergeletak
tak berdaya dan berlumuran darah, dengan truk yang sudah remuk tak jauh
darinya. Banyak orang berkumpul di sekitarnya, baik siswa dari sekolah,
guru-guru, maupun warga sekitar.
“M-
mira!” Teriaknya dengan nyaring. Semua orang yang ada di sana langsung menoleh
ke arahnya. Miranda sebenarnya ingin berkata lebih dari itu. Ia ingin bertanya,
bagaimana semua ini bisa terjadi? Tapi semua kata-kata nya seakan tertahan di
tenggorokan nya. Dia hanya bisa meneriakkan nama putrinya.
Dengan
tubuh yang gemetaran, ia mulai berlari mendekati Almira. Air matanya mulai
menetes dan membasahi pipinya. Sedikit demi sedikit, wajah Almira yang awalnya
hanya terlihat samar dari jauh menjadi semakin jelas. Ekspresi putrinya yang
biasanya manis dan selalu bersemangat sekarang menjadi kosong dan hampa.
Miranda sangat tidak suka melihatnya.
Perlahan,
Miranda lalu berlutut di samping Almira. Ia mengangkat tubuhnya dengan sangat
hati-hati lalu mendekap putrinya dengan erat. Miranda lalu melihat
sekelilingnya, dan menyadari kalau belum ada Teknisi medis yang menangani
Almira. Miranda mulai panik dan bertanya apakah sudah ada yang memanggil
bantuan.
“A-
ambulans! Apa sudah ada yang memanggil ambulans? Ini anakku, dia sekolah
disini, k- kita harus segera membawanya ke rumah sakit-”
Ia
sudah sangat panik sehingga bicaranya jadi tersendat.
Setelah
beberapa saat, tidak ada jawaban dari orang-orang yang berkumpul di sana. Tidak
ada yang sanggup menjawabnya. Mereka hanya memalingkan kepala, dan sebagian ada
yang menahan tangis. Itu membuat Miranda sedikit marah.
“Kenapa
diam saja!? Nyawa anakku terancam! Kalau-”
Komentar
Posting Komentar