==========================================================
Judul : Revitalisasi Pendidikan Vokasi Di Indonesia
Dalam filosofi pendidikan dikenal empat istilah,
yaitu: metafisika,
epistimologi, axiologi, dan logika[1]. Pemikiran para philosopher di atas sangat terkait dengan istilah filosofi
tersebut. Metafisika membahas alam
nyata/ kenyataan. Dalam pendidikan, metafisika ini berkaitan terutama
konsep realitas yang direfleksikan pada mata pelajaran, kegiatan praktik dan keterampilan dalam kurikulum. Epistimologi membahas pengetahuan (knowledge) dan apa yang diketahui/pahami (knowing), yang berarti sangat
terkait dengan metode
dalam proses belajar
mengajar. Axiologi berhubungan dengan nilai (value)
yang terkait dengan moral
(etika) serta keindahan dan seni (estetika).
Logika berkaitan kemampuan
menjawab dan alasan dengan benar.
Jika dikaitkan dengan istilah-istilah di atas, aliran pemikiran
para philosopher di atas dapat dipilahkan dengan jelas. Dalam pandangan philosopher idealisme, kenyataan sangat terkait dengan
mental dan dapat berubah, pengetahuan merupakan pemikiran
yang dapat berubah, dan nilai merupakan harga mutlak dan abadi. Pandangan aliran realisme, kenyataan
merupakan tujuan yang disusun berdasarkan hukum alam,
pengetahuan merupakan sensasi dan
abstrak, dan nilai merupakan harga mutlak dan abadi sesuai hukum alam. Pandangan aliran pragmatisme, kenyataan merupakan interaksi antara individu dengan
lingkungan atau pengalaman
dan hal ini selalu berubah, pengetahuan merupakan hasil pengalaman berdasarkan metode ilmu pengetahuan, dan nilai merupakan situasional dan relatif.
Pandangan aliran eksistensialisme, kenyataan sangat
subyektif, pengetahuan untuk pilihan pribadi,
dan nilai adalah bebas memilih. Berdasarkan uraian di atas, aliran
pemikiran para philosopher yang sesuai untuk
pengembangan pendidikan vokasi adalah realisme
dan pragmatisme. Pendidikan
vokasi merupakan proses pembelajaran yang mempersiapkan peserta didik untuk memasuki lapangan
kerja setelah menyelesaikan
studinya. Hal ini berarti pendidikan
vokasi merupakan kondisi
nyata yang dibentuk
untuk mewujudkan pengetahuan yang sesuai dengan
nilai-nilai yang diharapkan dalam bekerja. Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pendidikan vokasi, kurikulum pendidikan vokasi (dalam arti metafikasi) selayak disusun sesuai kenyataan yang
dibutuhkan untuk bekerja, metode
dalam proses belajar mengajar (dalam arti epistemologi) juga disesuaikan dengan kondisi seperti
bekerja, dan memiliki
nilai hasil (dalam arti
axiologi) yang diharapkan sesuai dengan tuntutan pasar kerja. Pendidikan kejuruan
adalah pendidikan yang dirancang untuk mengembangkan keterampilan, kemampuan atau kecakapan, pemahaman, sikap, kebiasaan-kebiasaan kerja, dan apresiasi yang diperlukan oleh
pekerja dalam memasuki pekerjaan dan membuat kemajuan-kemajuan dalam pekerjaan penuh makna dan produktif. Saat ini,
pendidikan kejuruan dan vokasi memerlukan formulasi yang aktual dan kontekstual berdasarkan konteks waktu dan ruang yang ada. Dalam perkembangannya di Indonesia, pendidikan vokasi terus saja menarik
untuk didefinisikan dan direformulasi kembali, termasuk diredesain. Dalam arti, isinya terus disesuaikan dan definisinya pun dikembangkan dan disesuaikan dengan
visi dan misi pendidikan vokasi suatu bangsa atau negara.
Pendidikan kejuruan dan vokasi bagi kaum pragmatis
adalah penyelarasan akan kebutuhan pekerjaan dan keterampilan atau kompetensi soal apa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
pekerjaan tersebut. Pendidikan kejuruan dan vokasi
menjadi selalu dinamis
dan bahkan harus adaptif dengan
perubahan kebutuhan pekerjaan
itu sendiri. Filosofi
ini kemudian memunculkan teori demand driven sebagai pengganti
supply driven. Pragmatisme mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula.
Pragmatisme menyatakan bahwa di antara pendidik
dan peserta didik bersama-sama melakukan
learning process, menekankan kepada kenyataan atau situasi dunia
nyata, konteks dan pengalaman menjadi bagian sangat penting, pendidiknya progesif dan kaya akan ide-ide
baru. Kaum pragmatis adalah
manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan
secara nyata berusaha
memecahkan masalah yang dihadapi dengan
tindakan yang konkret.
Pragmatisme melihat nilai
pengetahuan ditentukan oleh kegunaannya di dalam praktik.
Karenanya, teori bagi kaum pragmatis
hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat
manusia terbelenggu dan mandek dalam
teori itu sendiri.
Teori yang tepat adalah teori yang berguna,
siap pakai, dan dalam kenyataannya berlaku, serta memungkinkan manusia bertindak secara praktis.
Kebenaran suatu teori, ide, atau keyakinan
bukan didasarkan pada pembuktian abstrak, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuensi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang
dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia
kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut. Realita
tersebut sejalan dengan pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara
dengan ungkapan “ngelmu
tanpa laku kothong,
laku tanpa ngelmu cupet” yang bermakna
ilmu tanpa keterampilan menerapkan adalah kosong, sebaliknya keterampilan tanpa ilmu atau teori pendukung menjadi kerdil.
Artinya, paling penting adalah
bagaimana pendidikan kejuruan dan
vokasi agar sejalan dan senada (link and match) dengan kebutuhan DUDI, perubahan dan kolaborasi harus dilakukan
jika awalnya hanya dituntut menerima hasilnya saja dan harus menyerap lulusan
vokasi. Keniscayaannya adalah peran penting
DUDI adalah dari Awal sampai akhir (start from the end).
I.1.
Hakikat Pendidikan
Dalam sebuah kutipan[2] pengertian pendidikan menurut
H. Horne, adalah proses yang terus menerus (abadi)
dari penyesuaian yang lebih
tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang
secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar
intelektual, emosional dan
kemanusiaan dari manusia. Dan menurut Bapak Pendidikan
Nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara, menjelaskan bahwa pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan
yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak
itu, agar mereka
sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapatlah mencapai
keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Dan dalam UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses pengembangan diri manusia dalam keseluruhan aspek manusia itu sendiri untuk
mengembangkan potensi dirinya menjadi lebih baik agar dapat mencapai
tujuan-tujuan hidupnya.
Untuk memahami hakikat
pendidikan dapat dilihat
dari dua sudut
pandang[2]: yang pertama
sudut pandang masyarakat, dimana pendidikan berarti sebuah proses pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda
yang bertujuan agar hidup masyarakat tetap berlanjut, atau dengan kata lain agar suatu masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang senantiasa tersalurkan dari generasi
ke generasi dan senantiasa terpelihara dan tetap eksis dari
zaman ke zaman. Kedua pendidikan dari sudut pandang individu
di mana pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi dalam diri setiap individu untuk agar individu
tersebut menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi individu lainnya.
Namun demikian proses sebuah pendidikan akan
sangat tergantung dari motivasi dan tujuan individu
itu sendiri. Kepakaran yang diakibatkan akibat oleh proses sebuah pendidikan akan menuju ke dua
arah yaitu kepakaran untuk tujuan-tujuan baik dan kepakaran untuk tujuan-tujuan yang tidak baik. Sehingga pada akhirnya
untuk kemaslahatan, proses
pendidikan keahlian individu
atau kelompok harus dibarengi dengan
proses peningkatan kualitas
rohani dan mental
dari individu atau kelompok itu sendiri.
Dengan demikian hakikat
pendidikan adalah interaksi
yang seimbang antara
subjek didik dengan kewibawaan pendidik
untuk meningkatkan kualitas hidup dengan menerapkan proses pembelajaran dan prinsip-prinsip keilmuan
yang berasas ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan,
berkebudayaan dan tanpa paksaan.
0 komentar:
Posting Komentar